Book Review, Di Bawah Langit yang Sama

Desember 17, 2017

Dear Bloggies,

BOOK DESCRIPTION
Rate                      : 3.75 out of 5
Writer                  : Helga Rif
Title                      : Di Bawah Langit yang Sama
Publisher             : Gagas Media
Cetakan ke-         : Pertama, Mei 2015
Halaman              : 276 Halaman
Format                 : Paperback
I Have The Copy of This Book













Di kotaku, gadis-gadis berkebaya meriung merangkai bunga.
Menyanyikan kidung. Juga membicarakan cinta, yang ternyata tak semudah yang kita sangka.

Seperti cintaku, yang kini kupertanyakan di tepi pura dekat taman bunga.
Dia dan aku sungguh berbeda meski berada di bawah langit yang sama.
“Kau seperti kupu-kupu,” katanya, “yang sempurna dan cantik warnanya.”
Seharusnya, aku bahagia mendengarnya.
Namun, aku sadar, sayapku tak bisa terbang bebas.

Cinta tumbuh di tempat yang jauh, sementara sayapku terikat di sini.
Di pulau para dewa, yang menyimpan banyak rindu untuk memanggilku kembali.
Yang nyanyian ombak di pantainya mampu mendamaikan risau di hati.

Langit masih memiliki warna yang sama, aku dan dia berada di bawahnya.
Kami mengirimkan cinta dan doa.
Namun, diam-diam juga saling bertanya, apakah doa kami akan sampai ke tempat yang sama?

Jika kau pernah mendengar kisah serupa, kabarkan kisahnya ke Pulau Dewata; apakah bahagia atau sesal yang ada di ujung kisahnya?

My Opinion
Novel ini bercerita tentang keresahan hati seorang gadis Bali, Indira. Terlahir dari keluarga dengan kasta Ksatria, kasta tertinggi kedua setelah kasta Brahmana di Bali, Indira dihadapkan pilihan-pilihan yang sulit. Setelah menempuh pendidikan fashion design di Singapore, Indira menetap disana selama 2 tahun dan menemukan tambatan hatinya, Maximillian Liem. Saat itu, Indira merasa segalanya cukup, hidup dengan tenang dengan Max dan karir yang dia impikan, sampai berita meninggalnya Niang (nenek) Indira yang disampaikan oleh adiknya Iswari. 

Bagi Indira, Niang adalah orang yang sangat mengerti dirinya, atas ijin dan dukungan penuh dari Niang, Indira bisa sekolah di luar Negeri. Aji dan Ibu Indira yang masih sangat memegang teguh adat istiadat keluarga Bali, menentang keras rencana itu, pemikiran mereka tentang wanita yang menempuh pendidikan dan karir yang lebih tinggi tidak begitu penting. Disini, saya melihat kentalnya sistem patriarki masih di terapkan di Bali. 

Indira harus pulang ke Ubud, tanah kelahirannya. Indira berfikir, setelah upacara ngaben Niang, dia bisa kembali ke Singapura lagi dan melanjutkan proyek nya. Namun, rencananya tidak sesuai dengan yang dia harapkan. Ia mengetahui, rencana pernikahan adiknya, Iswari, dengan pacarnya yang berasal dari kasta Brahmana. Jika adiknya menikah dengan kasta yang lebih tinggi, mau tidak mau, adiknya harus masuk ke dalam kehidupan Griya dan hanya dia satu-satunya keturunan Aji yang harus meneruskan tradisi keluarga, karena Aji dan ibu tidak memiliki anak laki-laki sebagai penerus keluarga. Agar tidak turun kasta, Indira harus mencari lelaki yang mau diajak Nyentana, atau masuk kedalam keluarganya dan melakukan adat layaknya lelaki Bali. Atau, ada pilihan lain, Indira harus menikah dengan saudara satu Purusanya.  

Ditengah kegelisahan tersebut, muncul Gung Wah. Saudara satu purusa yang tiba-tiba dijodohkan dengan dia. Perjodohan yang sudah diatur kedua orang tua nya secara sepihak, membuat Indira kalut. Kepada siapakah Indira akan menjatuhkan pilihan hatinya? Bisakah ia menjadi egois dan melakukan Nyerod (kawin lari) dengan Max, meninggalkan keluarga nya?atau menikah dengan Gung Wah yang sudah ia anggap sebagai kakak laki laki nya sendiri ?

Cerita yang ditulis kak Helga di buku ini runtut, dan enak dibaca. Saya suka dengan pengambilan sudut pandang orang ketiga serba tahu, itu membuat pembaca seolah olah merasakan kegalauan yang dirasakan karakter utamanya. Ending cerita, bisa dibilang sedikit mengejutkan, saya sudah menduga endingnya seperti apa namun masih penasaran dengan prosesnya. Untuk penokohannya, saya rasa penggambaran karakter di dalam buku ini kurang kuat..apa ya, kurang greget gitu, kaya makan sayur sop yang rasanya lumayan tapi ada sesuatu yang kurang (apasih). 

Saya lebih suka tulisan kak Helga yang ini, dibandingkan buku satunya "First Love". Dari kedua buku saya menemukan, penggambaran karakter yang kurang kuat memang. Such a lovely novel.

What I’ve Learned from This Book
Indonesia dengan keanekaragaman budaya dan adat istiadatnya selalu membuat saya tertarik. Tertarik untuk belajar dan memahami keanekaragaman itu. Beberapa novel tentang wanita Bali, pernah saya baca. Budaya Bali masih sangat kental dengan Patriarki nya, dimana lelaki masih memiliki otoritas terhadap perempuan, anak dan harta benda. Di tengah derasnya budaya asing yang masuk, beberapa daerah di Bali masih memegang erat tentang peraturan kasta. Wanita Bali seringkali dihadapkan pilihan-pilihan yang sulit. Wanita dan Laki-laki diciptakan sesuai dengan kodratnya masing-masing, memiliki peran masing masing, saling melengkapi. Alangkah indahnya jika wanita dan laki-laki bisa saling menghormati dan tidak memonopoli dengan alasan gender superiority.


Recommendation
I recommend this book for those who wants to learn new perspective of life. Happy reading!

You Might Also Like

0 comments